Beranda | Artikel
Orang Yang Celaka
Jumat, 6 November 2009

Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Shahihnya dalam Kitab ar-Riqaq (pelembut hati) dengan judul, ‘Man nuuqisyal hisaab ‘udzdziba’ (Orang yang didebat ketika dihisab amalnya maka pasti akan diadzab). Kemudian beliau membawakan riwayat dari Aisyah radhiyallahu’anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang didebat ketika dihisab maka pasti akan diadzab.” Aisyah berkata, “Bukankah Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Maka kelak dia akan dihisab dengan mudah.’ (QS. al-Insyiqaq: 8).” Nabi menjawab, “Yang dimaksud oleh ayat itu adalah ditampakkan catatan amal kepadanya.” (HR. Bukhari [6536] dan Muslim [2876], ini lafazh Bukhari)

Dari Aisyah radhiyallahu’anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang dihisab melainkan dia pasti binasa.” Aku -Aisyah- berkata, “Bukankah Allah berfirman tentang adanya hisab yang ringan?”. Maka Nabi menjawab, “Yang dimaksud adalah sekedar ditampakkannya catatan amal. Namun, barangsiapa yang didebat ketika hisab maka dia pasti binasa.” (HR. Bukhari [6537] dan Muslim [2876], ini lafazh Muslim)

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata seraya menukilkan penjelasan para ulama mengenai maksud hadits di atas, “Cara untuk mengkompromikan -antara ayat dan hadits yang seolah-olah bertentangan tersebut- adalah bahwa yang dimaksud dengan hisab dalam ayat itu adalah ditampakkannya catatan amal. Yaitu ditampakkannya amalan dan diperlihatkan kepada dirinya sehingga pelakunya pun mengetahui dan mengakui dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Kemudian Allah pun memaafkan dirinya.” (Fath al-Bari, 11/455)

Lantas, al-Hafizh membawakan riwayat yang menguatkan penafsiran ini. Yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzar dan at-Thabari dari jalan Abbad bin Abdullah bin az-Zubair, dia berkata: Aku mendengar Aisyah radhiyallahu’anha berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang makna hisab yang ringan.” Maka beliau menjawab, “Maksudnya adalah seseorang yang ditunjukkan kepadanya dosa-dosanya kemudian dia kesalahan-kesalahannya pun dimaafkan.” (lihat Fath al-Bari [11/455]).

Terdapat riwayat lain yang mendukungnya, di antaranya beliau menyebutkan hadits Jabir yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dan al-Hakim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya bisa melebihi berat timbangan dosa-dosanya, maka itulah orang yang akan masuk surga tanpa hisab. Dan barangsiapa yang kebaikan dan dosanya seimbang, maka itulah orang yang akan dihisab dengan hisab yang ringan, kemudian dia masuk surga. Barangsiapa yang dosanya lebih berat daripada kebaikannya, maka itulah orang yang mencelakakan dirinya sendiri, dan sesungguhnya syafa’at itu akan diberikan kepada orang sepertinya.” (lihat Fath al-Bari [11/455]).

al-Hafizh juga menyebutkan terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari jalan Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah radhiyallahu’anha secara marfu’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada seseorang yang dihisab di hari kiamat melainkan dia pasti akan masuk surga.” Secara lahiriyah makna hadits ini bertentangan dengan hadits tadi, maka cara mengkompromikannya menurut beliau adalah; bahwa kedua hadits ini berbicara dalam konteks orang yang beriman. Tidak ada pertentangan antara disiksa dan dimasukkan ke dalam surga. Karena seorang yang bertauhid meskipun seandainya dia diputuskan harus merasakan adzab, maka dia juga pasti akan dikeluarkan dari neraka dengan syafa’at atau keluasan rahmat Allah (lihat Fath al-Bari [11/455]).

Keterangan di atas merupakan dasar perincian para ulama mengenai keadaan orang yang diampuni dosanya karena tauhid yang dia miliki, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qor’awy. Beliau menjelaskan bahwa meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat pengampunan dosa (tidak disiksa), namun hal ini ada rinciannya, yaitu sbb:

  1. Barangsiapa yang meninggal di atas syirik akbar -tidak bertaubat darinya- maka dia pasti masuk neraka dan kekal di dalamnya
  2. Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik akbar namun dia juga masih membawa sedikit syirik ashghar -yang dia belum bertaubat darinya- sementara amal kebaikannya masih lebih berat timbangannya daripada dosanya maka dia akan masuk surga
  3. Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik akbar namun dia juga masih membawa dosa syirik ashghar, sementara dosanya lebih berat timbangannya daripada amal kebaikannya, maka orang semacam ini berhak dimasukkan ke dalam neraka namun tidak akan kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)

Engkau tidak bisa mengelak!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun orang yang diberikan catatan amalnya dengan tangan kanannya maka kelak dia akan dihisab dengan hisab yang ringan dan akan kembali kepada keluarganya dengan penuh kegembiraan.” (QS. al-Insyiqaq: 7-8)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud hisab yang ringan itu adalah Allah ‘azza wa jalla akan berduaan bersama dengan seorang hamba-Nya yang beriman dan tidak ada orang lain yang ikut menyaksikan dosa-dosanya. Dia mengatakan, ‘Didunia aku telah melakukan demikian dan demikian’, sampai-sampai ketika dia telah merasa bahwa dia pasti akan binasa maka Allah ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosa itu untukmu selama di dunia, dan pada hari ini Aku pun mengampuninya untukmu.’…” (Syarh Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 298)

Apa yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin di atas berdasarkan pada riwayat Ibnu Umar radhiyallahuanhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat seorang mukmin akan didekatkan di sisi Rabbnya ‘azza wa jalla sampai diletakkan tutup atas dirinya kemudian Allah pun meminta pengakuannya atas dosa yang telah dilakukannya. Allah berkata, ‘Apakah kamu mengetahuinya?’. Maka dia menjawab, ‘Benar wahai Rabbku, aku telah mengetahuinya.’ Maka Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah menutupi dosamu ketika di dunia dan pada hari ini Aku berikan ampunan atasnya kepadamu. Maka diberikan kepadanya lembaran catatan amal kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka mereka akan dipanggil di hadapan orang banyak dengan seruan: ‘Mereka itulah orang-orang berdusta atas nama Allah.’.” (HR. Bukhari  [2441] dan Muslim [2768], ini lafazh Muslim, lihat Syarh Muslim [9/35], lihat juga keterangan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [11/455])

Kemudian, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Seandainya kita mau memikirkan dosa-dosa yang kita perbuat dalam keadaan tidak dilihat oleh orang, niscaya akan kita dapati hal itu sebagai sesuatu yang besar (tidak bisa diremehkan) dan banyak jumlahnya. Akan tetapi berkat penutupan yang diberikan Allah ‘azza wa jalla, kemurahan dan karunia-Nya maka di hari kiamat Allah kembali menutupinya untuk kita. Maka dengan cara itulah Allah meminta persaksian seorang hamba atas dosa-dosanya. Ketika itu dia pasti akan mengaku dan tidak bisa mengelak…” (Syarh Aqidah Ahlis Sunnah, hal. 298)

Orang yang beruntung

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Beruntunglah seseorang yang bersikap objektif menilai dirinya di hadapan Rabbnya. Dia akan mengakui kebodohan dirinya karena ilmu yang tidak dimengerti olehnya dan cacat yang ada pada amal-amalnya, aib yang ada dalam dirinya, sikap meremehkan kewajiban yang harus ditunaikan kepada-Nya, dan kezaliman yang diperbuatnya dalam bermu’amalah. Apabila Allah menghukum dirinya akibat dosa-dosa itu maka dia memandangnya sebagai bentuk keadilan dari-Nya. Apabila Allah tidak menghukumnya atas dosanya maka dia memandangnya sebagai keutamaan dan karunia dari-Nya. Apabila dia melakukan kebaikan, maka dia memandang hal itu sebagai kenikmatan dan pemberian Allah kepada dirinya. Kemudian apabila ternyata Allah mau menerima amalnya itu, itu artinya sebuah kenikmatan dan  pemberian yang kedua kalinya. Kalau seandainya Allah menolak amalannya, maka dia akan menyadari bahwasanya amalan seperti itu memang tidak pantas untuk dipersembahkan kepada-Nya. Kalau dia melakukan suatu keburukan/dosa, maka dia memandang hal itu akibat Allah membiarkan dirinya  dan tidak memperhatikannya atau karena Allah menahan pemeliharaan atas dirinya, dan dia sadar bahwa hal itu merupakan suatu keadilan dari Allah terhadap dirinya. Maka dalam keadaan itu dia bisa melihat betapa butuhnya dia kepada Rabbnya, betapa besar kezaliman yang dia lakukan kepada dirinya sendiri. Dan apabila ternyata Allah mengampuni dosanya maka sesungguhnya hal itu murni karena kebaikan dan kemurahan Allah kepada dirinya. Yang menjadi inti dan rahasia permasalahan ini adalah hamba tersebut tidak pernah memandang Rabbnya kecuali sebagai sosok yang senantiasa melimpahkan kebaikan, dan dia tidak menilai dirinya melainkan sebagai sosok orang yang bertingkah buruk, melampaui batas, atau justru menyepelekan. Dengan begitulah dia bisa meyakini bahwa semua perkara kebaikan yang menggembirakannya sebagai bentuk anugerah Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan Allah kepadanya. Adapun semua perkara yang membuatnya sedih itu terjadi akibat dosanya sendiri dan keadilan yang Allah terapkan kepadanya.” (al-Fawa’id, hal. 36)

Wahai, saudaraku… termasuk golongan manakah kita? Orang yang menyadari hakekat dirinya, ataukah orang yang celaka? Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Disusun di wisma al-Ghuroba’, Yogyakarta
Pertengahan bulan Dzulqa’dah 1430 H
Yang sangat membutuhkan Rabbnya

Abu Mushlih Ari Wahyudi
http://abumushlih.com


Artikel asli: http://abumushlih.com/orang-yang-celaka.html/